THE SHINKA: Dari Punk Rock Sampai Gaya Hidup Bebas Alkohol

stevanpontoh 23 Januari 2022

Adalah THE SHINKA, unit Punk yang lahir dari Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara ini berawal dari pertemanan sejak kanak-kanak. Dua pentolan band ini yaitu Muller dan Czi, keduanya kemudian mengenal musik punk kala itu lewat band-band arus utama seperti Blink-182, Greenday, dan Simple Plan.

Dan oleh karena kecintaan mereka terhadap musik-musik serupa, di tahun 2006 di masa SMA mereka sempat membentuk band dengan posisi Czi sebagai vokalis dan Muller pada gitar. Kurangnya fasilitas studio latihan menjadi problematika umum band-band daerah yang lahir kala itu, tidak terkecuali dengan THE SHINKA.

Pertemuan kembali Muller dan Czi pada 2010 berawal dari komunitas sosial yang mereka bentuk dalam rangka mengumpulkan sumbangan ke panti-panti asuhan, sekalipun komunitas ini tidak bertahan lama karena kesibukan pekerjaan masing-masing. Akhirnya keduanya memutuskan untuk membentuk kembali band dengan nama X-KIDS di 2016 dengan Muller (Gitar/Vokal), Czi (Bass), dan Witz (Drum). Pada 2020, Dennis menggantikan Witz yang mengundurkan diri karena pekerjaan.

X-KIDS pun berganti nama menjadi THE SHINKA saat peluncuran album perdana, nama tersebut di ambil dari judul lagu GREEN DAY Haushinka”. Motivasi THE SHINKA untuk berkarya dijabarkan dengan baik oleh bassist mereka di satu kesempatan penulis ketika berdiskusi dengan mereka.

“Hobi atau kegemaran yang tersalurkan itu adalah kegembiraan yang tiada tanding”, terang Czi.

THE SHINKA cukup produktif akhir-akhir ini selain lewat peluncuran album perdana. Dilihat dari beberapa klip video yang digarap beberapa bulan terakhir yang linknya bisa pembaca temukan di akun youtube official THE SHINKA. Selain itu, yang penulis temukan menarik pula adalah gaya hidup pribadi ke-tiga pentolan band ini yang bebas dari alKohol atau biasa kita kenal dengan istilah “Straight Edge”.

Gaya Hidup Straight Edge

Alkoholisme dan adiksi tak bisa dipungkiri kerap hinggap di hingar-bingar skena musik keras. Dan kita sudah sering termakan stigma dan steretotip gaya hidup adiktif yang pada tingkatan terekstrim, tidak ada bedanya dengan konsumerisme yang punya sifat menghancurkan yang sama. Namun, apa benar stigma tersebut tidak bisa terbunuh? Dan stereotip bahwa musisi underground yang identik dengan substansi adiktif itu sebuah fakta? Atau…mitos tradisional belaka?

Straight Edge

Di akhir abad ke 20, wacana tentang motivasi hidup yang bebas dari substansi adiktif sudah lahir justru dari dalam geliat proto-punk seperti pada band The Modern Lovers sebagai bentuk alternatif baru dalam skena hardcore/punk yang kala itu identik dengan kebiasaan mabuk dan kerusuhan.

Istilah motivasi hidup alternatif ini akhirnya dicetuskan oleh band Minor Threat dengan terms “Straight Edge”. Di beberapa kesempatan para personil THE SHINKA berbagi sedikit pendapat mereka soal gaya hidup personal mereka.

“Di dalam iklim musik underground, soal musisi yang mabuk,drugs atau apapun itu mungkin lebih ke pilihan mereka masing-masing. Saya akan tetap bergaul dengan orang-orang alkoholik selama mereka tidak memaksa saya untuk ikut denga gaya hidup mereka dengan cara menolak dengan baik dan memberi tau bahwa saya sXe (Straight edge), dan sampai sekarang jujur tidak ada masalah karena di komunitas underground sendiri iklimnya saling menghormati terhadap gaya hidup masing-masing dan saya nyaman dengan perbedaan ini,” terang Muller.

“Kalau berbicara tentang straight edge, ini lebih ke issue personal. Bagi saya straight edge adalah gaya hidup, dan gaya hidup itu adalah milik pribadi dan bukan kelompok. Tapi kalau disangkutpautkan dengan masalah stereotip underground, orang bebas punya pendapat karena toh, kami juga tidak saling merugikan. The shinka itu berbeda, selalu ada yang berbeda dalam setiap kecenderungan yang ada. Dan saya rasa The shinka ada di posisi itu. Sekalipun begitu, ini bukan berarti kami anti terhadap perbedaan. Kami bergaul dengan siapa saja karena perbedaan itu indah. Bhinneka tunggal ika in a Rock n’ Roll way,” Czi menambahkan.

The Shinka

“Semua berhak memilih apa yang membuat mereka nyaman, dan teman-teman di sini (Underground), sangat toleran terhadap perbedaan,” tambah Muller.

Di Kabupaten Minahasa, daerah ini terkenal dengan produksi minuman keras “cap tikus” yang sudah merambah ke nasional dan internasional. Tak jarang juga produksi brand tersebut menjadi mata pencaharian mereka yang menghidupkan sejak dahulu kala. Untuk THE SHINKA sendiri, straight edge adalah motivasi personal mereka dan tidak ada hubungannya dengan kampanye apapun terkait falsafah hidup tersebut.

Saya pribadi tidak menganjurkan untuk menyuarakan anti-alkoholisme dalam lirik lagu, karena bila kita lihat di sisi lain, cap tikus adalah salah satu sumber mata pencaharian orang-orang untuk menyekolahkan anak-anak mereka,” ungkap Dennis, Drummer The shinka.

Lirik Seputar Kritik Sosial-Politik

“Untuk lirik THE SHINKA sendiri, lebih banyak berbicara tentang kritik sosial/politik karena hal tsb kami rasa lebih krusial dari sekedar gaya hidup, terutama permasalahan stigma soal budaya tattoo, dan hubungan sosial antar-manusia seperti pertemanan dan lain-lain agar seimbang,” jelas Muller.

The Shinka

“Tidak mengkonsumsi bukan berarti anti kan? Ada perbedaan signifikan antara tidak dan anti. Jadi kalau ada pertanyaan soal membuat lagu yang menyuarakan anti alcohol, sepertinya tidak pernah terpikirkan,” ungkap Czi.

“Dalam hal ini, THE SHINKA bukan tipikal band yang elitist apabila ditanya soal ideologi mereka pribadi dalam komunitas underground yang notabene majemuk, apalagi karena mereka juga pernah terlibat kegiatan sosial, mereka sudah terbiasa bertemu dengan beragam orang dari beragam latar belakang. Pesan-pesan mereka tertuang dalam gaya hidup mereka masing-masing tanpa perlu dikampanyekan atau dikarakterisasi didalam karya-karya mereka.

Dalam waktu dekat, band ini akan segera meluncurkan album kedua mereka. Untuk sementara mereka sedang disibukan dengan penggarapan album selanjutnya.

“Di album kedua ini tema liriknya agak berbeda dengan album perdana. Mulai dari kritik sosial politik, keseharian, kebhinnekaan, juga tentang daerah tercinta kami Minahasa, semua akan tersajikan disana”. Pungkas Czi, bassist THE SHINKA.”

Stevan Pontoh

Penulis merupakan pengarang buku The Art of Destruction dan personil Northorn. Sapa dia di instagram @@stv_chada

Tinggalkan komentar

Artikel Terkait