Paralisis Musik: Saat Selera Kita Terjebak di Masa Lalu

Syaifullah Maruf 5 November 2024

Banyak dari kita, terutama yang lahir di era 90-an seolah terperangkap dalam kenangan masa lalu. Musik dari masa remaja menjadi benteng pertahanan yang sulit ditembus oleh nada-nada baru. Ada yang menyebut fenomena ini sebagai musical paralysis (paralisis musik)—sebuah kondisi di mana preferensi musik kita membeku, enggan beradaptasi dengan alunan zaman yang berubah.

Pernahkah kamu merasa, saat musik baru diputar, ada semacam ketidaknyamanan yang tak bisa dijelaskan? Itu bukan sekadar perasaan, Bro. Penelitian menunjukkan bahwa seiring bertambahnya usia, otak kita menjadi kurang responsif terhadap musik baru. Struktur otak, terutama korteks pendengaran yang berhubungan dengan ventral striatum—bagian otak yang memproses rasa senang—tidak lagi seaktif dulu dalam merespon nada yang asing. Di sinilah terjadi apa yang disebut sebagai paralisis musik, kondisi di mana otak kita cenderung memutar ulang trek lama yang sudah dikenalnya.

Musik yang didengar saat remaja memiliki tempat khusus dalam hati kita. Koneksi emosional dengan musik tersebut begitu kuat, membuatnya seolah tak tergantikan oleh lagu-lagu yang lebih baru. Setiap petikan gitar atau ketukan drum dalam lagu dari masa lalu mampu mengirimkan kita kembali ke memori emosional yang spesifik. Kenangan manis, kegembiraan masa muda, bahkan kesedihan yang teramat dalam—semuanya tertinggal di dalam setiap lirik dan nada. Bagaimana mungkin musik baru bisa bersaing dengan kenangan sekuat itu?

Bias Nostalgia dan Identitas yang Mengunci

Bagi generasi 90-an, bias nostalgia menambah bahan bakar dalam krisis ini. Musik era mereka dianggap sebagai mahakarya, sementara musik zaman sekarang dilabeli sebagai “sampah” atau terlalu digital. Namun, apakah ini sekadar kritik jujur atau hasil dari bias nostalgia yang tidak disadari?

Nostalgia memainkan peran besar dalam menentukan selera kita. Banyak yang merasa bahwa musik masa kini terlalu overproduced, kehilangan keaslian yang dimiliki oleh musik tahun 90-an hingga awal 2000-an. Namun, ini lebih dari sekadar kualitas suara. Mengganti preferensi musik bisa terasa seperti mengkhianati identitas diri. Identitas sosial dan preferensi musik kita terjalin erat, terutama pada masa remaja hingga menjelang dewasa. Jadi, saat tren berubah, mencoba musik baru bisa terasa seperti mengorbankan bagian dari diri kita sendiri.

Dari Stagnasi hingga Dominasi: Mengapa Musik Rock Memudar

Sekarang, mari kita geser ke genre yang dulu memimpin tangga lagu dunia—musik rock. Mengapa author menyerempet genre cadas yang satu ini? Tentu karena secara pribadi genre ini ada aliran yang tetap author dengarkan secara konsisten hingga sekarang. Dahulu, genre ini adalah kekuatan tak terbendung, namun kini, secara global ia tampak tenggelam di bawah arus pop, hip-hop, dan EDM. Mengapa? Ada banyak alasan, Bro.

Musik rock dikatakan mencapai titik jenuh. Elemen-elemen yang dulu terasa segar kini terasa usang. Inovasi tampak terhalang oleh ekspektasi sosial yang mengharuskan genre ini tetap setia pada akar tradisionalnya. Di saat genre lain bergerak cepat dengan memanfaatkan media digital, rock seakan terseret, dipinggirkan oleh platform yang lebih memilih genre-genre dengan sentuhan digital kuat.

Namun, meskipun ketenaran rock memudar di ranah mainstream, jangan salah, genre ini belum mati. Faktanya, rock masih memiliki basis penggemar yang militan. Para musisi dan band-band rock yang sudah mapan, bahkan yang baru, tetap eksis dengan keberanian merilis karya dalam format fisik seperti CD, kaset, dan vinyl. Label-label rekaman independen masih memperjuangkan integritas musik rock ini, meskipun industri mainstream semakin digital. Bagi banyak penggemar rock, pengalaman memutar vinyl atau kaset adalah ritual yang tak tergantikan oleh sekadar mendengarkan musik di layanan streaming.

Musik rock bertahan dalam underground dengan kekuatan kolektif yang menolak diserap sepenuhnya oleh kapitalisme digital. Di sinilah letak kekuatan rock sesungguhnya—dalam komunitas yang tetap setia, meskipun industri global bergeser ke tren yang lebih menguntungkan secara komersial. Bahkan, di beberapa pasar, format fisik seperti kaset dan vinyl mengalami kebangkitan dan menjadi barang koleksi. Ini menunjukkan bahwa ada nilai sentimental dan estetis yang melekat pada pengalaman mendengarkan musik rock dalam bentuk fisik.

Paralisis Musik: Mengapa Melawan?

Inilah realita: banyak dari kita yang terjebak dalam kondisi musical paralysis, enggan berpindah dari musik lama yang sudah dikenal, menghindari musik baru yang terasa asing. Tapi apakah ini benar-benar jalan yang harus kita tempuh? Musik seharusnya membebaskan, bukan mengurung. Ketika kita menolak genre atau artis baru hanya karena mereka berbeda dari yang biasa kita dengarkan, kita melewatkan peluang untuk mengalami evolusi emosional dan budaya yang bisa saja memperkaya kehidupan kita.

Akhir kata, paralisis musik mungkin tak bisa dihindari sepenuhnya, namun sadar akan fenomena ini bisa membuat kita lebih terbuka untuk mengeksplorasi dunia musik yang lebih luas. Jangan biarkan kenangan masa lalu menjadi beban yang membatasi kreativitas dan kenikmatan kita terhadap musik masa kini.

Beralih dari tengah ke akhir, kini kita kembali ke permulaan—tempat di mana musik seharusnya bebas, tanpa batas, tanpa keharusan untuk tetap berada dalam satu dekade tertentu. Musik itu dinamis, ia adalah denyut nadi dari setiap generasi. Jadi, mengapa kita harus membiarkan diri kita terjebak dalam masa lalu, saat dunia menawarkan begitu banyak nada baru yang menunggu untuk ditemukan?

 

Syaifullah Maruf

Penulis adalah kontributor tetap di Disiden Bisu dan cukup sering menjadi penulis lepas di beberapa media cetak/online Sulawesi Selatan.

Tinggalkan komentar

Artikel Terkait