AI Dan Seni: Era Baru Menuju Pendefinisian Kembali Kreativitas

stevanpontoh 15 Maret 2024

Baru-baru ini publik kita dihebohkan dengan kontroversi mengenai artwork album yang menggunakan kecerdasan buatan, atau yang familiar dikenal sebagai artificial intelligence (AI). Beberapa band seperti Deicide dan Pestilence tengah dikritik sebab menggunakan artwork yang dinilai terlalu artificial dan tidak natural dari goresan artworker seperti biasanya.

AI telah membawa revolusi dalam bidang seni, dengan membuka pintu untuk eksplorasi kreatif baru dan menghadirkan tantangan serta pertanyaan filosofis baru tentang makna seni. Teknologi itu memperluas kemungkinan kolaborasi antara manusia dan teknologi dalam seni karena dimanfaatkan dalam banyak bidang seni.

Teknologi itu memfasilitasi seniman dalam menganalisis tren seni, meramalkan preferensi pasar, dan mendapatkan wawasan yang mendalam tentang audiens para seniman. Yang menjadi kritik adalah hilangnya kepakaran, karena dengan keleluasaan teknologi tersebut kita seolah-olah tidak lagi bisa membedakan siapa yang seniman dan siapa yang tidak. Bagaimana tidak, AI sangat mungkin dapat digunakan oleh orang yang tidak memiliki skill dan pengalaman menggambar sekalipun.

Kehadiran teknologi itu dalam bidang seni pada dasarnya tidak selalu menimbulkan ancaman selama digunakan sebagai alat bantu yang mendukung proses kreatif. Namun bila digunakan untuk mengganti kecerdasan kita sepenuhnya, proses kreatif itu justru terkesan “cari gampang” dan malas.

AI
Album Deicide menggunakan AI

Penggunaan AI pada artwork mengingatkan kita juga pada inflasi digital yang terjadi sebelumnya. Tren download lagu lebih marak ketimbang pembelian rilisan fisik. Kita juga sudah mengalami kondisi AI berperan penting pada proses rekaman masa kini yang bahkan tidak memerlukan alat musik sesungguhnya (seperti penggunaan midi drum dan sample yang hasilnya sangat sangat mirip dengan instrumen asli yang dimaksud). Dengan kata lain, di masa depan saat dimana AI berkembang, tidak ada lagi batasan apapun bagi seseorang untuk menciptakan dan menampilkan musik bahkan tanpa manusia itu sendiri, musik dapat dihasilkan.

Ini jelas dapat menggeser makna kreativitas karena keterampilan seorang musisi pada akhirnya tidak dinilai dari seberapa mahir ia memainkan instrumen dan alat musik, namun seberapa familiar dia menggunakan AI untuk meniru instrumen aslinya.

Kembali ke persoalan artwork yang memakai AI, beberapa artworker berkomentar bahwa gambar AI terkesan hampa dan tanpa nyawa, ini disebabkan karena rata-rata gambar AI hampir menyerupai animasi 3D dan alih-alih agar gambar terlihat realistis, hal itu justru mengurangi pesan dan rasa yang sudah seharusnya menonjol. Point di atas sebenarnya tidak mewakili komentar para artworker secara keseluruhan namun untuk mewakili pandangan kritis mengenai penggunaan AI.

Menurut saya sendiri sebenarnya hal tersebut tergantung dari konsep keseluruhan pesan dari band-nya karena artwork biasanya mewakili isi materi musikal di dalam album terkait, maka bila memang konsep kreatif dari band membutuhkan artwork yang super realis dan terkesan animatif, AI merupakan salah satu pilihan yang paling canggih untuk menghasilkannya. Saya tidak mengatakan satu-satunya pilihan, karena masih banyak di luar sana artworker yang skillful serta mampu membuat gambar sampul album yang realis walaupun pertimbangannya adalah kembali kepada budget yang tersedia dari band itu sendiri.

AI adalah fenomena teknologi yang telah berkembang pesat dan pastinya masih akan terus berkembang pesat. Tentunya ini tergantung dari seberapa bijak kita menggunakannya karena bila keterampilan manusia bisa digeser oleh teknologi, itu berarti eksistensi para pelaku seni terkait juga berpotensi tergantikan di masa depan.

Stevan Pontoh

Penulis merupakan pengarang buku The Art of Destruction dan personil Northorn. Sapa dia di instagram @@stv_chada

Tinggalkan komentar

Artikel Terkait