Apa yang ada di benak kamu bila mendengar kata ‘black metal’?, Apakah yang terbesit adalah musisi dengan dandanan serta kostum seram dan aksi panggung yang tidak biasa?; Tempo lagu yang super cepat serta sound gitar yang memekik telinga?; Atau, musik dengan sound akustik super halus dikawinkan dengan riffing music folk melankolis, dengan lirik yang mendeskripsikan keindahan alam. Atau jangan-jangan yang ada di benak pembaca adalah band-band berkostum mayat dengan lirik tahyul, mitos, serta legenda yang sering mendeskripsikan ‘afterlife’ versi agama tertentu dengan pesan agar manusia kembali ke jalan yang (mereka yakini) benar.
Black Metal dan Digitalisasi
Setiap metalheads punya kesan tersendiri bila disajikan pertanyaan tentang black metal. Ini karena terminologi tersebut jaman sekarang sudah begitu luasnya ditandai dengan munculnya turunan sub-genre dari musik terkait. Apalagi dengan kemudahan teknologi sekarang, fenomena “one-man black metal” semakin marak dan hampir semua orang yang mahir menggunakan software/daw dengan kemudahan memanipulasi audio dan MIDI programming bisa mengklaim dirinya pemusik sekalipun dengan kemampuan bermain alat musik yang minim, tidak terkecuali dalam black metal itu sendiri.
Hadirnya Plugin instrumen VST, juga dikenal sebagai plugin VSTi, yang meniru berbagai instrumen dalam workstation audio digital mempermudah seseorang untuk dapat meniru hampir semua instrumen dibandingkan dengan membeli instrumen yang sebenarnya.
Dengan segala kemudahan ini tentu saja para sound engineer terbantu, karena memang fungsi sebuah perangkat lunak memang begitu. Namun apabila kesannya “cari gampang”, dengan kemudahan seperti itu pada akhirnya seseorang bisa membuat lagu tanpa menggunakan instrumen yang real, dan yang terjadi adalah sound yang dihasilkan benar-benar terdengar robotic dan penciptanya akan sulit mempertanggung-jawabkan apa yang ia ciptakan dalam bentuk live performance dan kualitas seorang musisi akhirnya dilihat tidak lagi pada kemampuannya mengaransemen lagu dan memainkan alat musik , tetapi seberapa mahir ia menggunakan software.
Apakah masa depan cara bermusik kita akan berakhir seperti itu dan orang tidak lagi bergantung pada instrumen real namun kepada AI atau digital programming?, Hanya waktu yang dapat menjawabnya karena seni selalu berkembang. Ia bisa saja berkembang dari satu hal ke hal yang lain yang benar-benar bertolak belakang dengan tradisi awalnya.
Temuan Irelevansi dan miskonsepsi dalam Black Metal
Contoh lain, bila kita meninjau dari sudut pandang lirikal, band-band black metal juga sudah banyak yang merubah konsepnya. Kita tidak lagi dipusingkan dengan kritik agama dan persoalan sosial-politik, beberapa dari kita cenderung mencari kegelapan itu di tempat lain, atau malah sebaliknya tidak lagi bicara soal hal-hal yang gelap namun “relijius”. Dan ketimbang memilih jenis musik yang lebih cocok untuk tema seperti itu, kita masih tidak rela menanggalkan jubah yang kita namai “black” metal.
Di barat, band-band yang memainkan musik black metal dengan tema relijius disebut dengan “Un-black metal”/white metal, sekalipun terminologi tersebut kontroversial. Bila para pembaca sudah pernah menonton dokumenter bertajuk “black metal satanica“, ada beberapa tanggapan miring dari musisi black metal tradisional terhadap band-band Unblack metal.
Di Indonesia sendiri saya belum menemui band yang secara terang-terangan menyebut diri nya Un-black metal, saya lebih banyak menemui band yang mengklaim konsepnya Satanic black metal namun liriknya bertolak belakang dengan klaim itu. Lebih mudah menemukan band-band dengan tema relijius (bicara soal neraka/surga versi agama tertentu) ketimbang yang kritis dengan konsepsi-konsepsi itu, karena mayoritas masyarakat kita yang memang lekat dengan agama.
Kontradiksi pasti terjadi bila kita bicara pesan-pesan keagamaan dengan pentagram di dada atau salib terbalik. Apalagi bila musisi tersebut punya tradisi keagamaan yang tidak familiar dengan asal usul simbol terkait (Gerakan Satanisme/Paganisme barat lahir dari perlawanan terhadap tradisi Kekristenan yang pada jaman itu represif dan otoritarian). Kita di Indonesia tidak punya sejarah tersebut.
Seruan Agar Tetap Memperdalam Diskursus
Saya tidak serta merta menganjurkan bahwa siapapun pelaku musik black metal harus menjadi elitist. Namun di sisi lain bila yang dimaksudkan dengan kaum elit adalah mereka yang bisa memisahkan diri dengan pelaku musik lain yang cenderung serampangan dan “Ngawur” dalam berkarya, saya rasa fenomena elitist baik adanya. Ini akan memisahkan siapa saja yang “serius” dalam berkarya dan tidak, mana yang menjunjung tinggi pakem-nya dan mana yang tidak.
Di sisi lain, “kebebasan berekspresi” selalu menjadi alasan kita untuk keluar dari pakem-pakem yang ada bila itu dengan tujuan menciptakan hal-hal baru, namun saya rasa yang harus dihindari apabila pada akhirnya kita kemudian menebar ‘keabsurdan’. Kebebasan tidak pernah bisa menjamin kualitas kreatif, ia hanya memperluas ruang geraknya saja.
Ini berhubungan juga dengan apa motif seorang musisi, karena motif juga punya peran yang dapat mempengaruhi hasil karya. Bila kita hanya bermusik untuk sekedar senang-senang atau hobi, kita tidak akan banyak bicara melalui karya kita dan mempertimbangkan kesesuaian antar-konsep. Beda halnya ketika motif kita murni ekspresif dan kita menemukan bahwa musik seperti black metal cocok dan paralel dengan pesan-pesan yang ingin kita sampaikan. Di Indonesia sendiri banyak band-band berkarakter yang sudah melakukannya dan berhasil bahkan diakui dunia Internasional.
Yang jelas, diskursus ini harus tetap kita pelihara dengan pikiran terbuka. Karena hari ini tidak banyak yang mampu menerima kritik dengan baik dan mencernanya dengan bijak. Budaya ‘baperan’ netizen kita sangat menghambat bangkitnya diskursus dan kekuatan berkonsep kreatif kita. Saya mengembalikan semuanya kepada keluasan berpikir para pembaca, dan para pelaku musik terkait di luar sana.