
Perdebatan soal apa itu keindahan sudah berlangsung cukup lama, setidaknya dari zaman filsuf seperti Alexander Baumgarten (1735) untuk pengkajian soal ilmu tentang hal yang dapat dirasakan dengan perasaan.
Meskipun pada awalnya para pemikir umumnya mempertimbangkan aspek teknis sebagai penilaian terhadap sesuatu yang indah, perubahan pola pikir masyarakat juga mempengaruhi perspektif dalam mengkaji apa yang indah.
Di masa romantisme, keindahan adalah kemampuan menyajikan keagungan, sedangkan pada masa realisme keindahan adalah kemampuan menyajikan sesuatu dengan apa adanya, bahkan kontrasnya di masa maraknya de stijl (gerakan yg diinspirasi dadaisme di era perang dunia ke 2) keindahan adalah kemampuan untuk memadukan warna dan ruang serta kemampuan untuk mengabstraksi benda.
Diperlukan pemahaman yang terbuka untuk mengevaluasi musik se-ekstrim black metal guna menghindari perdebatan sejarah yang berpotensi menjauhkan para pendengarnya dari maksud dan tujuan musik itu sebenarnya. Karena bila dihubungkan dengan segi historis estetika pada dasarnya kajian tersebut tidak melulu dirumuskan dalam wacana rasional, sebab persoalan keindahan atau kesenian lazimnya memang tidak bisa diungkapkan secara verbal.
Oleh sebab itu dari perkembangannya, kita bisa menyimpulkan bahwa keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu. Dalam perkembangan estetisisme, pemikir seperti Theophile Gautier misalnya lebih jauh berargumen bahwa segala macam yang indah selalu asing dari kegunaan.

Kaum estetisist percaya bahwa seni harus dimurnikan dari segala unsur eksternalnya termasuk pertimbangan tentang manfaat bahkan efeknya terhadap masyarakat. Ini memungkinkan pemaknaan yang benar-benar lain terhadap keindahan dalam kesenian, hal ini yang memungkinkan pembicaraan seni yang khas.
Keindahan Yang Tidak Relevan Lagi
Kita harus sepakat bahwa konsep keindahan Abad 20 jelas tidak lagi bisa didasarkan pada konsep keindahan pra abad 20. Contoh yang lebih gamblang misalnya adalah kemunculan gerakan avant-garde yang melampaui batasan-batasan nilai atau norma dan menjunjung kebebasan bereksperimen, atau musik shock rock yang mengedepankan kekagetan dalam hasil karya mereka yang mencolok secara visual.
Apabila kekagetan adalah keindahan, mungkin itulah yang dikejar para pelaku dalam gerakan gerakan seperti di atas. Itu sebabnya pada akhirnya kita menemukan beragam jenis subgenre dalam musik, termasuk pada musik ekstrim seperti black metal yang dalam perkembangannya menemukan keindahan dalam kegelapan. Menyadarkan kita bahwa pengalaman kesenian juga bisa ditemukan di dalam kegelapan yang misterius.

Black Metal dan Sikap Kritis Terhadap Teokrasi
Black metal secara tradisional lahir dari sikap kritis terhadap teokrasi dan totalitarianism. Gerakan yang terjadi di penghujung abad 20 di Norwegia yang lahir dari bibit sejarah penyebaran kekristenan di Eropa Utara yang penuh dengan konflik berdarah
Kita bisa melihat itu jelas dari corak tema lirik bahkan karakteristik band band pelopornya seperti Marduk, Dark Funeral, Dimmu Borgir, dan lain sebagainya. Prototipe black metal tidak terlepas dari kompleksitas tema yang umumnya berkutat soal tabrakan ideologi antara etnisitas, relijiusitas, sampai rasionalisme, dan teologi.

Di satu sisi, ada pula subgenre black metal yang tidak ada hubungannya dengan peperangan eksternal antar ideologi itu, sebaliknya subgenre ini lebih banyak bicara tentang peperangan internal (inner war). Terminologi Depressive black metal mungkin cocok untuk mendeskripsikan representasi inner war tersebut, sebuah subgenre yang lahir tak lama setelah black metal tradisional berkembang pesat di Eropa Utara.
Tema-tema lirik mulai dari pergulatan personal para kreatornya soal wacana penghancuran diri, mental struggle, mekanisme bertahan, sampai di kasus terekstrim, para senimannya meng-eksplorasi fenomena bunuh diri (suisidalitas).

Ada pula gerakan paling baru dalam black metal yang mencoba mengembalikan unsur estetika klasik yang dalam perkembangannya mengutamakan keselarasan proporsionalnya dengan unsur-unsur alam. Sebut saja gerakan atmospheric black metal yang lebih mendahulukan rasa dan suasana.
Black Metal dan Problematika Inner War
Mengapa kemudian black metal pada akhirnya sampai pada petualangan inner war setelah lama berkutat dan stagnan soal anti-totalitarianisme? Semua karena problematika pegiatnya itu sendiri yang tidak melulu memikirkan soal bagaimana seharusnya membentuk society yang ideal dengan mempergunakan musik sebagai senjata utamanya.
Sehingga perlawanan tersebut mengalami perpindahan menuju lubuk hati terdalam kita. Pertanyaan-pertanyaan besar tersebut akhirnya kembali kepada eksistensi diri kita sendiri, atau bahkan kepada semesta yang tak terjangkau.
Pada perkembangannya, para pegiat black metal selalu menemukan Alternatif baru untuk berpetualang dalam kegelapan yang multitafsir bagi siapapun. Kegelapan bisa ditemukan lewat lubuk hati paling dalam manusia, konflik paling berdarah. Konsep paling mematikan, bahkan di alam semesta yang amoral dan random itu sendiri. Ini tergantung perspektif kita memaknainya. Itu sebabnya black metal juga mengalami fenomena kekhasan dalam karya-karyanya, kita bisa melihat perbedaan mencolok antar geografis dari perkembangan musik ini.
Ini jelas tergantung dari para pelakonnya, apakah mereka mengutamakan kekhasan dalam berkarya yang dalam artiannya telah terbebas dari unsur-unsur eksternalnya (seperti semangat Gautier), atau apakah mereka murni mengadopsi karya mereka dari apa yg sudah ada bahkan lebih jauh apakah karya mereka dipengaruhi kehendak status quo?

Satu pemikiran pada “Black metal: Musik Ekstrim dan Pemaknaan Baru Estetika”