Dalam sejarah Indonesia, istilah “anarkisme” sudah lama mengalami reduksi makna dari arti filosofis-politiknya ke arti sehari-hari yang lebih dekat dengan kekacauan. Ada beberapa faktor yang menjelaskan penyebabnya.
Makna asli anarkisme sebagai ideologi politik (dari bahasa Yunani anarkhos: tanpa penguasa) menekankan otonomi, anti-hierarki, dan pengelolaan bersama—bukan kekacauan. sedangkan makna populer (di Indonesia)“Anarkis” adalah rusuh, liar, merusak. Ini sebenarnya reduksi yang terjadi di banyak negara, bukan hanya Indonesia, karena media dan aparat cenderung memakai kata “anarki” untuk “ketidakteraturan sosial.”
Warisan Kolonial
Pada masa Hindia Belanda, gerakan radikal kiri (sosialis, komunis, dan juga unsur anarkis) dipandang ancaman. Pemerintah kolonial sering memakai istilah “anarchisten” untuk menuduh agitator, buruh radikal, atau perlawanan yang tidak tunduk pada hukum kolonial. Seiring waktu, kata itu jadi label buruk untuk “pengacau keamanan.”
Pemberitaan media dan aparat pasca-kemerdekaan
Sejak Orde Lama sampai Orde Baru, kata “anarkis” dipakai aparat keamanan untuk menggambarkan demonstrasi yang berujung ricuh. Misalnya di era orde baru, semua aksi mahasiswa atau buruh yang di luar kendali sering dicap “anarkis,” walau maksudnya hanya vandalisme atau kericuhan. Media massa ikut mengulang istilah ini, sehingga masyarakat menginternalisasi “anarkisme = rusuh.”
Momen pasca-Reformasi (1998 – sekarang)
Setelah jatuhnya Soeharto, gelombang demonstrasi besar-besaran sering menimbulkan bentrok. Aparat, pejabat, dan media hampir selalu menyebut kericuhan itu “aksi anarkis.” Lama-lama, setiap demonstrasi yang di luar “tertib” langsung dilabeli anarkis, meskipun pelakunya bukan penganut ideologi anarkisme. Dalam banyak kasus, aparat memang sengaja memakai kata itu untuk memberi stigma negatif pada gerakan protes.
Asal Mula Salah Kaprah
Jadi, bisa disimpulkan ssal mulanya adalah warisan kolonial Belanda yang menyamakan “anarchist” dengan pengacau keamanan. Penguatnya adalah praktik aparat (orde baru & pasca orde baru) yang sengaja menyebut kerusuhan massa sebagai “anarkis.” Akibatnya istilah politik-filosofis anarkisme jadi salah kaprah dan direduksi jadi sinonim “kekacauan, vandalisme, rusuh.”
Musik dan Anarkisme
Sejak 1970-an, musik punk (Sex Pistols, The Clash, Crass) erat dengan simbol anti-otoritas. Band Crass di Inggris secara terbuka menganut anarcho-punk: menolak sistem negara, kapitalisme, militerisme. Lirik, zine, dan konser mereka jadi media propaganda anarkis. Dari sinilah istilah “anarcho-punk” lahir, subkultur punk yang sangat politis.
Prinsip anarkisme berkutat di sekitaran otonomi, anti-hirarki, dan solidaritas komunitas. Punk menghidupkan itu lewat label indie, gigs kecil, rilisan kaset/CD sendiri, zine fotokopian → bentuk nyata perlawanan terhadap industri musik kapitalis.
Anarkisme memberi semangat bahwa musik bukan sekadar hiburan, tapi alat perlawanan sosial. Karena itu underground identik dengan musik keras, mentah, penuh kritik sosial. Di Indonesia punk dan hardcore lokal masuk 1980–90an. Scene punk/hardcore di Indonesia (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dll) mulai membawa narasi anti-otoritas.
Banyak band punk/hardcore DIY menolak label besar, memilih merilis lewat komunitas atau label kecil. Marjinal (Jakarta) terkenal dengan lirik anti-ketidakadilan sosial, kritik pemerintah, dan semangat anarkis.
Di domain lain, yakni musik metal, walaupun tidak semua metal adalah anarkis, banyak band dengan subgenre metal (grindcore, crust, black metal) memakai retorika anti-otoritas, anti-agama institusional, dan anti-kapitalis. Subkultur ini jadi ruang aman untuk ekspresi radikal yang tidak diterima di ruang publik resmi.
Di beberapa kota, komunitas punk/hardcore sering terlibat dalam aksi solidaritas buruh, tani, atau isu lingkungan. Seringkali media langsung melabeli mereka sebagai “anarkis” (dalam arti negatif), padahal banyak dari mereka memaknai anarkisme sebagai hidup mandiri, kolektif, dan tanpa penindasan.
Benang Merah
Anarkisme merupakan ideologi anti-hirarki, anti-kapitalisme, dan otonomis. Musik bawah tanah seringkali dijadikan ruang praktik prinsip itu: mandiri, menolak sistem industri, dan melawan represi. Musik dapat menjadi medium ekspresi dan praksis anarkis.
Penggunaan istilah anarkis sebagai “kekacauan” sudah berlangsung lama di Indonesia, terutama dalam pemberitaan media dan narasi aparat. Istilah ini terdistorsi oleh framing politik dan pragmatisme media. Secara filosofis, anarkisme adalah ideologi tentang penolakan terhadap otoritas negara, bukan kekacauan.
Narasi semacam ini jelas menunjukkan kurangnya pemahaman dan edukasi publik, serta penggunaan istilah sebagai alat politik. Disamping itu, eksistensi musik bawah tanah menjadi antitesis untuk membantah reduksi makna tersebut, mengembalikannya kepada makna filosofis yang sebenarnya.
*Gambar utama: Band Crass saat di panggung. Sumber Crimethinc.
