Arsitek Distorsi: Penggerak Event Musik Keras Makassar

Syaifullah Maruf 22 Agustus 2025

Bahwa di balik gemuruh distorsi dan gebukan drum yang liar, ada kerja keras, dedikasi, dan visi yang lebih besar dari sekadar menggelar acara.

Di tengah geliat skena musik keras di Makassar, ada sosok-sosok yang tak hanya hadir sebagai penggemar, tetapi juga penggerak di balik layar. Mereka bukan sekadar penonton atau musisi, melainkan arsitek yang membangun ekosistem gigs dan festival agar terus hidup.

Dua di antaranya adalah Syawal Hidayat a.k.a. Itto, dan Azrul Efendy (Nocturnal Victims). Mereka adalah figur yang telah berkontribusi besar dalam menghidupkan panggung-panggung underground di Makassar.

Itto Dan Keterlibatannya

makassar

Itto, lahir di Kendari pada Maret 1993, mulai mengenal musik keras sejak usia 12 tahun dari koleksi album fisik milik kakaknya. Linkin Park, Avenged Sevenfold, hingga band punk lokal menjadi pintu masuknya ke dunia yang kini menjadi bagian besar dari hidupnya. Namun, bukan sekadar menikmati, Itto memilih untuk terlibat aktif. Berawal dari inisiatif pribadi, ia menawarkan diri untuk membantu berbagai gigs dan festival, tanpa mengharapkan imbalan jika acaranya bersifat kolektif.

“Karena (acara) kolektif lah yang selalu memberikan saya semangat untuk saling support,” ujarnya.

Komitmen itu kemudian berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar: Familiaxshow, sebuah acara yang pertama kali digelar pada 2020 dan masih konsisten berjalan. Familiaxshow lahir dari sebuah tradisi sederhana—setiap kali band hardcore Makassar, Frontxside, latihan, fanbase mereka, Frontxfamilia, selalu hadir menyaksikan.

Itto, sebagai Pallima (panglima) dari Frontxfamilia, bersama Indhar, vokalis Frontxside, melihat peluang untuk menjadikan pertemuan itu lebih dari sekadar latihan band. Lahirlah sebuah acara rutin tiga bulanan yang kini menjadi salah satu titik temu penting bagi komunitas hardcore di Makassar.

Bagi Itto, kepuasan utama dari menggelar acara adalah bisa berkontribusi bagi skena dan menjaga kepercayaan antar penggiatnya. Meski di balik panggung ia kadang mendapat teguran karena dianggap kurang maksimal dalam tugasnya, ia menganggapnya sebagai pembelajaran.

Harapannya untuk skena underground Makassar cukup sederhana namun fundamental: terus berkembang dengan mendorong anak-anak muda untuk berkarya, membuat musik, dan menciptakan gerakan yang berdampak positif.

Azrul Si Konseptor

makassar

Di sisi lain, Azrul Efendy, yang mulai menggarap event sejak 2014, memiliki pendekatan yang berbeda namun visi yang serupa. Jika Itto fokus membangun acara berbasis komunitas, Azrul lebih banyak mengeksplorasi berbagai konsep event.

“Makassar Massacre” menjadi titik awalnya sebagai konseptor event, sementara “Noise Breeze Festival” hanyalah satu dari sekian banyak proyek yang ia jalankan. Dunia event bagi Azrul adalah rollercoaster—penuh tantangan tetapi juga ketagihan.

“Rasanya luar biasa kalau lihat acara yang kita rancang dari nol akhirnya jalan dengan lancar. Apalagi kalau audience dan talent kelihatan puas. Itu kayak ada kebanggaan tersendiri,” katanya.

Namun, di balik itu ada tantangan yang tidak sedikit: kendala perizinan yang sering merepotkan, pemilihan venue yang harus matang, serta benturan jadwal dengan event lain. Semua itu membutuhkan kesiapan mental dan rencana cadangan yang solid.

Visi Azrul dalam menggarap event tidak hanya soal hiburan, tetapi juga memberikan pengalaman yang bermakna bagi semua yang terlibat. Ia ingin setiap acara yang ia buat memiliki kesan yang mendalam, baik dari segi atmosfer, konsep, maupun pesan yang disampaikan.

Baginya, skena underground Makassar dan Sulawesi Selatan memiliki potensi luar biasa, tetapi masih butuh dorongan agar lebih dikenal luas. Ia menekankan pentingnya branding bagi band dan pelaku skena agar lebih terlihat di era digital, serta memperbanyak ruang diskusi dan kolaborasi.

“Sekarang sudah bukan zamannya kompetisi, tapi kolaborasi,” tegasnya.

Baik Itto maupun Azrul adalah representasi dari semangat DIY yang menjadi fondasi skena underground. Mereka membuktikan bahwa di balik gemuruh distorsi dan gebukan drum yang liar, ada kerja keras, dedikasi, dan visi yang lebih besar dari sekadar menggelar acara. Mereka bukan hanya panitia atau event organizer, tetapi arsitek pergerakan yang menjaga api musik keras di Makassar tetap menyala.

Syaifullah Maruf

Penulis adalah kontributor tetap di Disiden Bisu dan cukup sering menjadi penulis lepas di beberapa media cetak/online Sulawesi Selatan.

Tinggalkan komentar

Artikel Terkait