Inferiority Complex: Warisan Kolonial yang Masih Menghantui Musik Lokal

Syaifullah Maruf 22 Januari 2025

“Kebiasaan menyama-nyamakan dengan band luar. Kenapa ini sering terjadi di Indonesia?”

Apakah kita benar-benar bangga dengan musik lokal, atau sekadar menikmatinya sambil terus berharap band favorit kita suatu hari “diakui” dunia internasional? Ironisnya, alih-alih merayakan karakter unik karya anak bangsa, sebagian kita justru sibuk menyama-nyamakan mereka dengan band luar negeri.

Sebut saja Carrywhite, band berbakat asal Toraja, disebut sebagai “Spiritbox-nya Indonesia” hanya karena vokalisnya perempuan yang menggunakan teknik scream. Hellcrust pun tak luput dari stereotip ini; disebut “Dying Fetus-nya Indonesia” hanya karena formasinya menyusut menjadi tiga orang. Begitu pula dengan Saint Loco, yang sering dilabeli sebagai “Linkin Park-nya Indonesia” karena eksplorasi nu metal yang mereka lakukan, meskipun memiliki elemen yang membedakannya secara signifikan.

Apakah fenomena menyama-nyamakan ini mencerminkan strategi pemasaran, ataukah sebenarnya manifestasi dari inferiority complex yang masih membelenggu masyarakat kita?

Apa itu Inferiority Complex?

Inferiority complex atau “kompleks rendah diri” adalah kondisi psikologis di mana seseorang merasa dirinya lebih rendah, kurang mampu, atau kurang bernilai dibandingkan dengan orang lain. Perasaan ini sering kali muncul akibat pengalaman masa lalu, lingkungan sosial, atau tekanan tertentu.

Orang dengan inferiority complex cenderung meragukan kemampuan mereka sendiri dan sering kali berusaha membandingkan diri dengan orang lain yang dianggap lebih “hebat” untuk menutupi rasa tidak percaya dirinya.

Ketika masyarakat atau penggemar musik menyamakan band lokal dengan band luar negeri, hal ini menunjukkan pola pikir yang tidak percaya bahwa band lokal bisa berdiri dengan identitasnya sendiri. Sikap ini mungkin muncul karena pengaruh inferiority complex yang tertanam dalam budaya kita: merasa bahwa pengakuan atau validasi hanya bisa didapatkan dengan “disejajarkan” dengan sesuatu yang berasal dari luar negeri.

Padahal, menyama-nyamakan hal semacam ini justru merugikan. Alih-alih mendorong band lokal untuk membangun karakter dan ciri khas yang unik, band tersebut malah dipaksa berada di bawah bayang-bayang band luar. Hal ini juga mengabaikan kreativitas dan pencapaian band lokal itu sendiri, seolah-olah mereka hanya “tiruan” dan bukan entitas yang orisinal.

Sikap seperti ini tidak hanya terjadi di musik, tetapi juga di bidang lain, seperti olahraga atau budaya pop, di mana penghargaan terhadap karya lokal sering kali kalah dibandingkan dengan kebanggaan terhadap sesuatu yang berbau “asing.”

Inferiority Complex Sebagai Warisan Kolonialisme

Kolonialisme bukan hanya soal eksploitasi fisik, tetapi juga kontrol budaya. Selama hampir satu setengah abad menjadi negara koloni, kaum pribumi Hindia-Belanda dicekoki narasi bahwa segala sesuatu dari Barat lebih unggul. Pendidikan yang diberikan oleh Belanda, misalnya, memperkuat persepsi ini dengan lebih banyak mengajarkan sejarah, bahasa, dan seni Eropa daripada budaya lokal. Akibatnya, pribumi perlahan kehilangan kebanggaan terhadap budaya mereka sendiri.

Setelah kemerdekaan, mentalitas ini tidak langsung hilang. Ia justru bertransformasi menjadi kebutuhan akan validasi dari luar negeri. Dalam konteks musik, hal ini tampak jelas ketika karya lokal hanya dianggap hebat jika dibandingkan dengan nama besar internasional.

Mengapa Kita Suka Menyamakan Band Lokal dengan Band Internasional?

Kecenderungan masyarakat Indonesia untuk menyamakan band lokal dengan band internasional mungkin dapat dijelaskan melalui beberapa faktor yang saling berkaitan. Salah satunya adalah kebutuhan akan validasi eksternal. Banyak yang merasa bahwa band lokal hanya dianggap berkualitas jika memiliki kesamaan dengan nama besar internasional.

Fenomena ini terlihat dalam contoh seperti menyebut Carrywhite sebagai “Spiritbox-nya Indonesia” atau Saint Loco sebagai “Linkin Park-nya Indonesia.” Bagi sebagian orang, penyamaan ini dianggap cara efektif untuk menunjukkan bahwa band lokal mampu bersaing di tingkat global, meskipun pada kenyataannya justru mereduksi keunikan mereka.

inferiority complex

Selain itu, minimnya literasi musik lokal turut memperparah situasi ini. Pendengar musik di Indonesia cenderung lebih mengenal band internasional dibandingkan band lokal, menciptakan bias yang mendorong penggunaan perbandingan untuk memudahkan pemahaman. Faktor ini diperburuk oleh peran sebagian media musik, yang sering mempopulerkan band lokal dengan membandingkan mereka dengan nama-nama internasional demi menarik perhatian.

Sayangnya, strategi tersebut malah mengaburkan identitas khas band lokal. Ditambah lagi, mentalitas pasca-kolonial yang masih bercokol di sebagian masyarakat membuat Barat tetap menjadi tolok ukur kualitas di berbagai bidang, termasuk musik. Pandangan ini menjadi salah satu akar permasalahan yang menghalangi apresiasi mendalam terhadap karya-karya lokal sebagai entitas yang mandiri.

Fenomena Validasi oleh Youtuber Luar

Selain kebiasaan menyama-nyamakan band lokal dengan band luar, fenomena validasi oleh youtuber luar negeri juga mencerminkan pola pikir masyarakat yang masih bergantung pada pengakuan eksternal. Ketika seorang youtuber internasional mengulas karya musik lokal, banyak yang langsung merasa bangga, seolah-olah itu adalah bentuk validasi tertinggi atas kualitas karya tersebut.

Syaifullah Maruf

Penulis adalah kontributor tetap di Disiden Bisu dan cukup sering menjadi penulis lepas di beberapa media cetak/online Sulawesi Selatan.

Tinggalkan komentar

Artikel Terkait