Diskusi Bersama Daniel Anggria

stevanpontoh 3 Agustus 2022

Musik bawah tanah kita menyimpan banyak sosok yang sering memberikan kejutan, salah satunya adalah Bung Daniel Anggria. Saya sendiri bingung mau menyematkan project-nya yang mana di belakang namanya karena karyanya sangat banyak dan beragam. Sebut saja NATJAARD, HORDAVINTHRA, ENUMA ELISH dan CHAOSOPHIA yang adalah empat project black metal-nya sampai VALERIAN, band power metal dimana beliau mengisi Keyboard di sana.

Bila penasaran, teman-teman bisa membaca biografi dan diskografi Bung Daniel di metal-archives.com di mana namanya terkait dengan sejumlah project metal maupun non-metal. Dan berbicara mengenai produktivitas, bukan berarti hal tersebut mengurangi kualitas karya-karyanya. Dari segi aransemen lagu dan produksi, terlihat jelas bahwa banyak project musik beliau digarap dengan serius dan tidak pernah main-main.

Kebanyakan project beliau diproduksi secara independen di rumah produksi miliknya bernama Daztanians Production dan di artikel kali ini, saya berkesempatan mewawancarai beliau via WhatsApp mengenai vision-nya sebagai pelaku musik, serta pendapat beliau terkait dengan iklim musik bawah tanah di Indonesia.

Bincang dengan Bung Daniel

Q: Hail Bung Daniel, bagaimana kabar? Apa saja kesibukan dan proses kreatif apa saja yang saat ini sedang berlangsung?

A: Hail juga my bro, kabar masih selalu nekad semangat seperti yang sudah-sudah.

Kesibukan pun masih seperti kemarin-kemarin yaitu (sesekali) ngantor, ngepel studio, bersenda gurau dengan alat-alat pertukangan, membaca komik dewasa, menonton film telanjang, dan tentunya juga beramah-tamah dengan para staff Kamtibmas setempat di Poskamling kala malam.

Untuk kegiatan putar isi kepala, saat ini saya sedang memprioritaskan konsentrasi pada materi-materi lagu SOMBERFROST dan VLAD ASTARTE, yang sedianya saya siapkan agar dapat dirilis albumnya tahun ini.

Tak lupa, ketiga band di mana saya terlibat di dalamnya, yaitu CHAOSOPHIA, ENUMA ELISH, dan VALERIAN, juga sedang dalam keseronokan yang sama, yaitu merampungkan full album, yang juga (diusahakan) rilis tahun ini.

Sementara itu, dua band sahabat yang saya bidani materi-materi lagunya, yaitu PROMETHEUS dan BLOODY PIG, turut pula berapi-api untuk mewujudkan rilis fisik full album, tentunya (lagi-lagi, mudah-mudahan) divtahun ini.

Q: Apakah anda mengidentifikasikan diri sebagai pelaku musik black metal atau citra tersebut terbentuk dengan sendirinya karena punya sejumlah project dan band black metal?

A: Sejujurnya, saya sendiri tidak tahu, dan sedikit kurang update untuk pengindentifikasian terhadap diri saya tersebut. Karena sejauh ini pun, saya tidak pernah memberikan klaim atau pengakuan pada diri sendiri, entah saya ini musisi black metal, atau (ternyata) bukan sama sekali, “Diakoni sukur, gak diakoni yo gak popo!.”

Saya lebih peduli pada proses pendewasaan yang sudah dibangun selama ini, dan lebih menuju pada keinginan untuk merealisasikan hasil bebunyian, rangkaian kata maupun kalimat, ataupun karya visual yang elok dan (saya rasa agak sedikit) berisi, setidaknya (minimal) ditelinga ataupun penglihatan saya.

Daniel Anggria

Q: Saya mendengar single HORDAVINTHRA berjudul Contra Dominia di 2015 dan jujur saja tidak terlintas di pikiran saya bahwa lagu tersebut ternyata adalah karya musisi lokal karena dari segi sound, aransemen musik, dan intonasi serta pronounciation vokalnya sangat terdengar seperti band Eropa. Apakah unsur-unsur tadi memang sangat mempengaruhi impresi awal para pendengar? Apakah sudah punya ekspektasi seperti itu sebelumnya?

A: Ini kurang lebih kembali pada jawaban saya di pertanyaan sebelumnya. Tidak ada ekspektasi jauh lebih lanjut, selain hanya berusaha menciptakan sesuatu yang (semoga cukup) indah, minimal terhadap pendengaran saya pribadi. Saya juga kurang terlalu mengamati bagaimana reaksi, impresi, ekspresi, ataupun respon pendengar lebih lanjut terhadap lagu tersebut.

Tapi sepengetahuan saya, single Contra Dominia pd saat itu memang mendapatkan apresiasi yang cukup baik, disertai support dan input saran yang cukup membangun. Dan hal tersebut cukup menjadi pembangkit gairah meronta-ronta, dalam mewujudkan materi lainnya, demi terlaksana perilisan full albumnya dikemudian hari.

Q: Saya menyoroti kemampuan berbahasa Inggris anda juga bagus melihat lirik-lirik lagu anda dan menurut saya ini menjadi bekal yang baik bagi band yang memainkan musik seperti black metal dan musik Internasional lainnya, menurut anda seberapa penting literasi dan kemampuan berbahasa (khususnya bahasa Inggris) bagi pelaku musik khususnya musik metal/black metal?

A: Bila kita menggugu dan atau sekaligus gemar menciptakan musik yang menggunakan (dan atau mengutamakan) ornamen vokal, tentu saja referensi dan kesanggupan untuk berbahasa dengan baik sangat dibutuhkan. Malah mungkin menjadi salah satu ujung tombak yang penting, karena pesan dan muatan lagu sedikit banyak akan dapat tersampaikan melalui lirik yang tersurat, maupun tersirat di dalamnya.

Dalam hal ini, bahasa Inggris memang sudah saya gemari, bahkan sebelum menginjak bangku Taman Kanak-Kanak. Pelajaran untuk itu, saya mulai dari menonton film (terutama The Sound of Music, Follow That Rainbow, dan Pendekar Ulat Sutera) sebelum berusia 6 tahun, membaca lirik-lirik lagu The Beatles, juga beberapa pengajaran ringan tentang kosa kata secara langsung dari Datuk saya dikala itu.

Dan seperti yang kita semua tahu, kadang saat sedang melaksanakan pembicaraan ataupun pembelajaran dalam bahasa Inggris pada khususnya, tidak sedikit dari orang divsekitar kita yang mencibir dan mengolok-olok. Itu sudah sangat biasa saya jumpai sejak dulu, bahkan hingga hari ini.

Dan tidak pernah menjadi masalah yang harus saya tanggapi serius, untuk saya melanjutkan pembelajaran tersebut. Karena, toh efek positif bak efek domino, remi, kiu-kiu, maupun efek seven sekopnya nanti akan berguna untuk saya sendiri dikemudian hari.

Di luar itu, saya juga menggemari penggunaan Bahasa Indonesia, yang saya dalami lebih jauh dengan membaca buku prosa, puisi, novel, cergam, diktat, majalah-majalah untuk pria dewasa hingga stensil esek-esek, juga lirik band-band maupun solois dalam negeri terdahulu, yang menurut saya masih menggunakan bahasa yang formal, bersanjak dengan baik, juga beraturan.

Lepas dari kedua bahasa tersebut, saya menggunakan bahasa Jawa dalam bersosialisasi di lingkungan kediaman saya setiap hari, bahasa Bengkulu Selatan bila berkomunikasi dengan sanak saudara dari pihak Ibu, juga bahasa melayu Pontianak bila sedang bersenda gurau dengan rekan SMP yang masih aktif dalam online grup.

Kurang lebihnya, di sini nyaris jelas sekali bahwa dalam mengemukakan sesuatu di konteks apapun, bahasa adalah salah satu senjata utama, yang memudahkan pesan tersebut tersampaikan, secara konotatif atau denotatif, langsung maupun tidak.

Kiat Bung Daniel Mendapatkan Inpirasi dalam Meramu Musik

Q: Menurut anda kiat-kiat apa yang seharusnya dilakukan pelaku musik agar teredukasi dengan baik terkait meramu sebuah project?

A: Poin pertama, seperti yang selalu dan terbiasa saya sampaikan di manapun berada, adalah menjadikan telinga dan kepala sebagai tong sampah. Dalam artian, hindari membatasi pendengaran maupun pengetahuan ketika mencari referensi, mengumpulkan literasi, ataupun mendalami sesuatu untuk menjadi lebih tahu. Mentang-mentang bermain musik (yang ngakunya) KERAS, tidak serta-merta pula kita menjauhkan diri dengan referensi lagu dari band ataupun solois yangg musiknya bersifat tidak keras, khan?

Taruhlah dalam hal ini umpama kita memainkan musik metal, bukan sebuah dosa toh bila pada saat yang sama kita juga mendengarkan lagu-lagu dari Broery Pesolima, Frank Sinatra, The Beatles, ABBA, pun bahkan lagunya A. Rafiq. Menjadi “tong sampah” semacam itu, sedikit banyak akan memperkaya kuantitas dan lingkup pengetahuan dalam kepala, bersinggungan dengan musik dan sekitarnya. Karena pengetahuan sifatnya universal dan relatif, sementara ketidaktahuan kita terhadap sesuatu yg kita gadang-gadang hanya karena kita malas belajar, bisa saja bersifat mutlak.

Poin kedua, dalam menjalankan sebuah project musikal, atau pengakuan diri sebagai salah satu pelaku musik tertentu, apapun jenisnya (baca: genre), saya ibaratkan bagai proses pendekatan terhadap seseorang yang kita sukai. Kita menyukai seseorang, otomatis kita juga akan mencari tahu lebih banyak apa saja yang berkaitan dengan orang yang kita sukai tersebut. Mulai dari rumahnya di mana, berapa nomor telponnya, hobinya, makanan kesukaan, warna kesukaan, bahkan hingga ukuran pakaian maupun sepatu, in case satu saat kita akan memberikannya sebagai cinderamata.

Dalam proses berkegiatan yang terhubung dengan project yang saya jalani, kurang lebih saya juga menjalani pembelajaran dan pendalaman terhadap keingintahuan itu, bahkan mungkin jauh sebelum saya memulai project tersebut, agar saya tidak benar-benar buta terhadap apa yang selama ini saya senangi dan saya lakukan.

Sama halnya dengan misalkan saya mengaku menggemari band yang bernama Dissection hanya karena saya anggap keren bentuk font dan logonya, sangar artwork pada cover albumnya, sementara saat ditanya, saya tidak tahu darimana band tersebut berasal, tidak mengerti siapa itu Ole Ohman ataupun Johan Norman, tidak paham satu pun lagunya (kecuali Mahakali), pun tidak memiliki rilisan fisiknya, kecuali dalam wujud hasil download.

Kenali, selami, dan cintai apa yang kamu lakukan! Karena melakukan sesuatu (dalam hal ini project musik) yang kamu yakin gemari, hanya dengan setengah hati, tidak akan mendapat kepuasan yang sempurna. Kecuali bila sekedar viral, terkenal, terlihat keren, dan menjadi sosok yang di elu-elukan adalah prioritas tujuannya, maka dua poin yang saya sebutkan di atas menjadi tidak valid dan nyaris tidak berlaku.

Sama dengan saat kita menyukai seseorang, lakukan pendekatan yang sedetail mungkin, dan secantik mungkin. Karena bila tujuannya semata-mata adalah hanya demi bermain kemahsyukan di atas ranjang, cukup tamasya saja ke rumah bordil atau lingkungan prostitusi untuk beli-putus, dan tak perlu sulit terlilit dengan segala proses yang melingkupinya.

Q: Apa yang anda soroti mengenai perkembangan teknologi saat ini dimana memudahkan hampir semua orang bisa menciptakan musik? Apakah hal tersebut merupakan hal positif?

A: Adalah baik, bahwa di zaman sekarang ini perkembangan teknologi semakin memudahkan siapa saja untuk berkegiatan intens dalam mencipta karya bebunyian. Tapi perlu diingat juga, bahwa selain kelengkapan dan kecanggihan hardware maupun software yang dimiliki oleh pelaku, salah satu faktor utama dalam proses mencipta karya tersebut (dalam hal ini adalah lagu) adalah Man Behind The Gun.

Durasi perjalanan dan pendalaman diri secara spiritual, hingga penyempurnaan kemampuan dan pengetahuan dari pelaku tersebut dalam proses mencipta, menjadi salah satu penentu utama, akan seperti apa hasilnya. Kekuatan literasi, kecintaan terhadap apa yang dilakukannya, serta kemampuan sebagai perpanjangan dlm mengolah nada dan alur, menjadi penyebab mutlak akan terciptanya riff-riff yang indah, lantunan nada yang meliuk dan bergeser dengan menyenangkan, serta membawa pendengarnya untuk tak sudi berpaling satu detikpun, bahkan hanya untuk buang air kecil.

Sekalipun didukung oleh aset peralatan dan instrumen yang memadai, siapa pelaku utama dibalik terciptanya irama yang indah adalah syarat mutlak yang gak bisa diganggu-gugat. Satu lagi, adanya kemudahan kepemilikan ornamen dalam proses rekam-merekam ini, selain punya pengaruh positif untuk mereka-mereka yang memiliki karya yang belum terwujud, juga berdampak kurang baik bagi pelaku usaha recording studio, contoh konkritnya saya  hahahahahahahaha!

Saat ini, mayoritas musisi di kota besar tidak perlu repot antri berhari-hari, untuk mendapatkan shift rekaman bandnya. Mereka bisa melakukannya dalam kamar, di garasi, di teras rumah, bahkan disudut warkop, karena hal-hal yang dibutuhkan seperti PC/Laptop, sound card, speaker flat, hingga program DAW dan software tambahan, sudah sangat mudah didapatkan, cukup dengan menginceng lapak dagangan online.

Q: Saya menggaris bawahi persoalan aransemen juga di sini di mana project-project black metal anda punya intonasi nada yang variatif, apakah ini adalah penegasan dari keseriusan anda dalam bermusik?

A: Untuk yang satu ini, saya bisa langsung mengatakan “YA!”

Pada dasarnya saya suka sekali mencoba sesuatu hal yang baru, termasuk dalam mendengarkan lagu dari band yang saya baru ketahui. Dari sini, hingga saat ini saya sudah mengumpulkan beberapa referensi acuan dan pedoman, yang tidak serta-merta bisa saya kerahkan penuh dalam satu adonan. Ibarat sedang memasak rawon, saya tidak bisa memaksakan gado-gado beserta bumbu sak godong-godongnya masuk dalam panci berisi rawon tersebut. Apalagi nekad bervariasi dengan menambahkan topping moccacino. Saya serius ingin masak rawon, dan juga tak kalah serius untuk membuat gado-gado.

Oleh sebab itu, kedua racikan makanan ini tadi saya pisahkan, tetap pada porsi dan komposisinya, dan keduanya tentu saja saya olah dengan sepenuh hati, agar minimal saya sendiri tidak merasa mengkis-mengkis saat mengkonsumsi hasil masakan tersebut. Simpelnya, menyediakan waktu untuk menikmati serunya film porno saja saya nggak setengah-setengah, apalagi dalam kelangsungan mencipta sesuatu yang pada hakikatnya sungguh saya gemari? Cukup telur aja yang setengah matang, upayakan jangan sampai terjadi pada apapun hasil karya yang kita wujudkan.

Daniel Anggria
Daniel Anggria

Tak Melulu Metal, Ia Juga Bikin Musik Dangdut

Q: Bagaimana dengan project non-metal? Apakah bisa dibilang bahwa itu merupakan salah satu pemenuhan hasrat bermusik juga? Atau sebaliknya, iseng saja.

A: Project non-logam yang saya jalani selama ini, adalah pelaksanaan keisengan yang saya lakukan dengan seserius mungkin. Kembali pada jawaban saya sebelum ini, bahwa saya memperlakukan telinga saya bagai tong sampah, maka hasil akumulasi dari apa yang saya dengar dan apa yang saya baca selama ini, saya ejawantahkan pula dalam proyek-proyek yang gak keras blash ini.

Contoh keisengan tersebut, salah satunya adalah proyek yang saya namakan Om. Na’il. Proyek tersebut mendeskripsikan kesukaan saya terhadap musik berjenis dangdut, khususnya untuk musik dangdut era awal 80’an, hingga penghujung 90′-an, sebelum masuknya millenium.

Om. Na’il merupakan hipotesis dari apa saja yang saya dengarkan selama ini, berkaitan dengan musik dangdut, dengan lirik sederhana yang saya torehkan berdasarkan pengalaman pribadi, lika-liku dan hiruk pikuk kehidupan bermasyarakat, serta isu hubungan asmara pemuda-pemudi sontoloyo pada (WC) umumnya. Sekalipun senaif itu landasan saya dalam mengolah materi Om. Na’il, namun dalam prosesnya saya menjalani dengan sangat fokus.

Bila hanya berbekal mempelajari satu atau dua lagu, satu atau dua pola, ataupun satu atau dua kali dengar tanpa perlu mendengarkan lebih banyak lagi asupan racik nada dari banyak referensi, saya tidak akan sebernyali itu untuk mewujudkan materi-materi Om. Na’il dalam album-albumnya yang dirilis tahun kemarin. Hal dan pertanggungjawaban untuk alasan yang sama juga saya berlakukan untuk proyek non-logam saya lainnya, yaitu NAILED dan SOMBERFROST. Tidak mudah, tentunya. Sesederhana itu, seiseng itu, dan seserius itu.

Q: Bagaimana tanggapan anda ketika orang mengkategorikan musik anda dalam kerucut atau gelombang tertentu?

A: Gak ada masalah, bagaimana atau ke manapun orang lain hendak mengkategorikan musik yang saya ciptakan dalam jenis, gelombang atau genre tertentu, buat saya itu relatif, fleksibel saja sesuai kehendak siapapun yang mendengarkan dan mengerucutkannya. Bebas ae, asik ae. Dan monggo, sekalipun katakanlah sebagian orang menyebut salah satu dari itu sebagai project black metal, sementara sebagian lainnya justru menyatakan sebaliknya, itu ya sah-sah aja. Dengan riang gunggungan, muka-gardu dan kepala sedingin es krim vanilla, saya menerima segala konsekuensi pengkategorian tersebut dengan hati selapang venue sepak takraw.

Pengkotakan genre terus terang juga sifatnya relatif, sebagian istilah juga diciptakan dari media dan industri (contohnya istilah pop rock, slow rock dan alternative rock), jadi seyogyanya kita sebagai penggiat kebisingan mengupayakan untuk tidak terjebak dalam sudut-sudut yang membatasi input maupun referensi yang baik, berkenaan dengan keterlibatan kita dalam aktivitas seni musik.

Q: Terakhir, any last words?

A: Utamakan nekad dalam proses berkarya. Perbanyak pengetahuan, agar ins(in)ting tetap terjaga. Jadi diri sendiri, selalu pada jalurnya!

Stevan Pontoh

Penulis merupakan pengarang buku The Art of Destruction dan personil Northorn. Sapa dia di instagram @@stv_chada

Tinggalkan komentar

Artikel Terkait