DSBM: Mengeksploitasi Fenomena Bunuh Diri atau Murni Representasi?

stevanpontoh 8 Februari 2022

Mungkin para pembaca belum familiar dengan term depressive suicidal black metal (DSBM). Niklas kvarforth dari Shining menggunakan term “suicidal black metal” di era 90an untuk mendeskripsikan musik Shining dari kombatan black metal lain.

Tapi bila dirunut, sebenarnya term itu sangat cocok untuk Strid, yang secara musikal dan tematik sudah mengeksplorasi fenomena depresif dalam black metal sebelum Shining. Setidaknya metal archives mengaminkan hal itu, Strid disebut-sebut adalah pionir dari sub-genre black metal ini.

Tentu saja, fenomena bunuh diri tidak lekat dengan black metal begitu saja, sebut saja vokalis legendaris Mayhem bernama Pelle “dead” Ohlin, yang kerap memberikan corak depresif dalam Mayhem, atau musik Burzum, yang punya teknik vokal emosional yang mencolok. Dapat dimaklumi pada akhirnya mengapa sub-genre ini berkembang karena secara historis kita bisa menemukan bibit-bibitnya sejak awal musik ini berkembang di tanah nordik.

Strid, black metal asal Norwegia. Sumber gambar: Discogs.com

Pro-Death Dalam Musik Ekstrim

Banyak orang punya pandangan bahwa bunuh diri adalah sebuah kesalahan, beberapa juga menganggap bahwa tindakan tersebut salah secara moril. Namun yang tidak bisa kita pungkiri adalah kematian bisa saja diinginkan (desirable).

Dan kemungkinan itu tidak lagi punya batasan dalam musik ekstrim. Ia menyuarakan hal-hal yang tidak sering kita dengar termasuk fenomena setabu bunuh diri, karena tragedi seperti bunuh diri bisa terjadi justru karena kurangnya diskusi terbuka soal tema ini.

Sekalipun misalnya kita punya aturan legal terhadap apakah seseorang bisa membunuh dirinya sendiri dan melarang itu, kenyataan bahwa keinginan untuk mati bisa hinggap kepada siapa saja dan bunuh diri masih dimungkinkan terjadi secara underground karena bunuh diri adalah keinginan.

Bunuh diri tidak sepenuhnya bertujuan menyakiti diri sendiri melainkan untuk mengakhirinya. Karena dalam banyak kasus ketika hidup dipandang sebagai keburukan, dan seseorang mengadopsi pandangan pesimis tentang kehidupan, kematian adalah sesuatu yang baik karena pilihan itu tergantung kepada pelaku utama.

Tidak ada hubungannya dengan keinginan orang lain tentang apa seharusnya seseorang lakukan karena kita sedang membicarakan kematian itu sendiri dari sudut pandang orang yang menginginkan hal tersebut. Ini berhubungan dengan pro-mortalism/pro-death, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kematian bukan hal yang buruk melainkan sebaliknya menguntungkan di point tertentu dalam hidup.

Seorang pro-mortalism meyakini bahwa mengakhiri hidup lebih baik ketimbang menjalaninya. Tentu saja dalam hal ini, pro-death bukan berarti mengamini pembunuhan, karena keyakinan seserius merenggut kematian lebih mudah diyakini diri sendiri.

Tindakan seserius merenggut nyawa hanya bisa diyakini dan dievaluasi diri sendiri secara mandiri dan tidak bisa kita tukarkan kepada pihak lain yang punya konsen yang berbeda. Lebih jauh soal hal ini, ada cara lain mengevaluasi pro-mortalisme, kita bisa definisikan bahwa kematian hanya baik bagi ia yang meninggal saja.

Karena sekalipun seseorang memandang kematian dirinya adalah baik adanya, kematian seseorang masih bisa merugikan bagi pihak lain yang ia tinggalkan di banyak kasus.

Stevan Pontoh

Penulis merupakan pengarang buku The Art of Destruction dan personil Northorn. Sapa dia di instagram @@stv_chada

Tinggalkan komentar

Artikel Terkait